Untuk intermezo – kadang-kadang saya blogging di sebuah café kecil, Hik-Hikan Plus. Julukan Hik itu sudah terkenal sejak zaman Solo tempo dulu - warung berjalan yang dijajakan di kampung-kampung dengan menggunakan angkring atau gerobag dorong. Dagangannya - ‘snack and beverage’, teh panas, wedang jahe, serbat, kopi, bermacam-macam makanan kecil dan nasi bungkus.
Sedang warung rakyat ini, menggunakan nama ‘hik-hikan plus’, karena memang ada ciri khasnya, selain makanan yang disajikan dipanggang lebih dulu, juga ada fasilitas tambahan, berupa layar lebar untuk menangkap siaran ‘Liga Inggris’ dari Indovision, dan ada free hot spot.
Warung hik itu dikelola para keponakan saya, chefnya, tukang panggang, pelayan, kebanyakan sarjana, dan ada yang menjadi PNS di Balai Kota. Ada perasaan terharu serta bangga melihat mereka bekerja dengan penuh suka cita.
Sebelumnya, pada kesempatan pertemuan keluarga besar, halal bihalal th. 2008, saya memang memberikan ‘kultum’ (kuliah tujuh menit), tentang teori Cashflow Quadrant dari Robert T Kiyosaki. Tentang alasan memilih pekerjaan berdasarkan factor keamanan dan kebebasan.
Hal ini saya sampaikan agar anak-anak muda yang sudah selesai pendidikannya tetapi belum mendapat pekerjaan - tidak hanya menggantungkan harapannya untuk menjadi employee, PNS atau bekerja di corporate saja. Tetapi mau mengerjakan apa saja yang bisa dilakukan, asal jangan menganggur.
Dan yang paling memungkinkan - menjadi Pewirausaha - selain bisa menciptakan kesempatan kerja, juga dapat memperoleh kebebasan - tidak bekerja untuk orang lain tapi untuk diri sendiri - mendapatkan financial freedom atau financial independent.
“Minum apa om?” Seorang pelayan menyela keasyikanku.
“Teh Poci! Jangan lupa jadah bakar, ya”, sahutku.
Tidak lama kemudian, pelayan yang insinyur tadi mengantarkan pesanan - teh poci - minuman teh yang disajikan di dalam teko dan cangkir yang semuanya terbuat dari gerabah, dan disajikan dengan gula batu. “Terimakasih mas”, ucapku.
Anakku yang di Jakarta kirim SMS, nampaknya ia senang juga - tahu ayahnya lagi menikmati “kebahagiaan” di warung hik. Sama bahagianya manakala kami sedang di Jakarta, ditraktir makan pizza atau sea food di restoran mahal.
Ya ….. ternyata belum tentu yang mewah dan mahal, yang dapat membawa bahagia. Yang sederhana, murah, dan hal-hal kecil juga dapat memberi rasa bahagia. Tidak perlu jauh-jauh mencari kebahagiaan dan tidak perlu menunggu. Di sini, sekarang, dengan apa yang ada, kita bisa menikmati juga. Pelanggan “hik-hikan plus” itu bukan hanya golongan kelas bawah, tetapi juga banyak tamu-tamu bermobil yang nampak sangat menikmati makanan murah dan suasana sederhana di situ.
Benar kata James Oppenheim, “The foolish man seeks happiness in the disrtance; the wise grows it under his feet”. Si tolol mencari kebahagiaan di kejauhan, sedang si bijak menumbuhkan kebahagiaan di bawah telapak kakinya.
Berhentilah mencari kebahagiaan di tempat tempat yang jauh, di luar diri kita, yang bersifat eksternal. Kita bisa menciptakan kebahagiaan dengan yang ada di bawah telapak kaki. Di dalam hati kita ada benih kebahagiaan, dan tinggal menumbuhkan saja.
“Kebahagiaan tidaklah diperoleh dari aneka pertemuan nasib yang besar-besar, yang jarang terjadi. Namun - kebahagiaan justru ditimbulkan oleh kelebihan-kelebihan kecil yang kita jalani saban hari”, kata Benyamin F.*****
No comments:
Post a Comment